Bagi mereka yang tumbuh besar di Pangandaran era itu, kalong bukan sekadar hewan malam. Ia bagian dari kenangan kolektif, simbol kehidupan alam yang masih utuh. Suaranya yang lirih di kejauhan menandai waktu pulang, sementara kepakan sayapnya menjadi latar harmoni antara manusia dan alam.
“Saya masih ingat, dulu kalau kalong mulai keluar, kami disuruh ibu masuk rumah. Katanya, kalau malam nanti bisa diseruduk kalong,” ujar Amin, warga Dusun Karanggedang Babakan.
“Tapi kami malah senang lihatnya. Cantik sekali kalau mereka lewat di langit senja.”
Kini, cerita itu hanya hidup di kepala mereka yang pernah menyaksikan. Generasi muda Pangandaran banyak yang bahkan tak tahu seperti apa bentuk kelelawar besar itu. Kalong kini hanya jadi kata asing dalam obrolan nostalgia.
Kehilangan kalong bukan hal kecil. Ia menandakan perubahan besar pada wajah alam Pangandaran. Dahulu, Cagar Alam menjadi rumah bagi ribuan kelelawar besar yang bergelantungan di pepohonan tinggi.
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait
