PANGANDARAN, iNewsPangandaran.id - Langit Pangandaran sore itu terlihat tenang. Matahari perlahan merunduk ke ufuk barat, menyisakan cahaya jingga yang memantul di permukaan laut. Indah, memang. Tapi ada yang hilang. Tak ada lagi kepakan sayap yang dulu menandai pergantian waktu antara sore dan malam. Tak ada lagi bayangan hitam kalong yang berbaris di langit.
Dulu, di era tahun 1970 hingga 1980-an, masyarakat Pangandaran punya kebiasaan yang hampir menjadi tradisi tak tertulis, menengadah ke langit setiap menjelang magrib, menanti rombongan kalong atau kelelawar yang terbang dari arah Cagar Alam Pangandaran menuju barat.
Anak-anak yang sedang bermain layangan di pinggir sawah akan berlari ke tepi jalan. Para ibu yang menjemur ikan asin di depan rumah buru-buru menutup wadahnya agar tak disambar kelelawar.
Sementara para bapak, sambil menyeruput kopi di beranda, mengangguk pelan melihat barisan hewan malam itu melintas bagai awan bergerak.
“Waktu kecil mah, tiap sore pasti ada kalong lewat. Jumlahnya bisa ribuan. Langit jadi hitam, tapi bukan karena hujan. Karena kalong!” kenang Jajang, warga Desa Cikembulan, sambil tersenyum getir. “Sekarang mah sepi. Kalongnya entah ke mana.”
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait
