Jika terbukti menerima imbalan, parpol atau gabungan parpol dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
Tetapi larangan itu harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 187B UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota diancam pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda antara 300 juta hingga 1 miliar rupiah.
"Sudah sangat jelas dan terang benderang saya kira terkait larangan para calon kepala daerah untuk memberikan mahar politik kepada partai politik," tuturnya.
Akan tetapi tambah Rohimat, kami menilai isu mahar politik sulit dibuktikan dan sejak era pilkada secara langsung, baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu belum pernah menjatuhkan sanksi terkait mahar tersebut, karena memang deliknya aduan, jadi harus ada pengaduan dari calon peserta pilkada yang merasa dirugikan oleh partai politik, dengan harus memberikan sejumlah uang.
"Menilik hal tersebut, menurut saya BAWASLU juga tidak serius menindak praktik mahar dalam perhelatan politik dan saya berharap Bawaslu perlu membuat strategi khusus untuk membongkar persoalan itu,"ujarnya.
"Bawaslu mungkin bisa membuka pusat pengaduan bagi orang-orang yang merasa dirugikan partai karena sudah membayar mahar tapi tidak dicalonkan, atau nanti kita buat bersama, kerjasama antara KNPI dengan Bawaslu Pangandaran untuk membuat posko pengaduan khusus terkait mahar politik" pungkasnya.
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait