“Kalau mau bertahan, kita harus berinovasi. Alam sudah berubah, iklim makin ekstrem. Kalau tidak beradaptasi, kita yang akan punah,” tegasnya lantang.
Dalam presentasinya di Universitas Hasanuddin, Makassar, Tahmo tak sekadar berbicara soal padi dan pupuk. Ia bicara soal masa depan bumi.
Ia mengingatkan, banyak petani masih belum sadar dampak buruk praktik konvensional yang bisa mempercepat kerusakan alam.
“Kita tidak bisa terus menyalahkan cuaca. Yang harus berubah adalah cara kita mengolah tanah,” katanya di depan ratusan mahasiswa yang tertegun mendengarkan.
Kini, nama Tahmo Cahyono menjadi inspirasi baru bagi petani di seluruh Indonesia. Dari tanah becek hingga podium kampus, ia membuktikan satu hal, bahwa petani bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa yang bisa mengubah masa depan bangsa.
Dengan langkah tegap dan suara bergetar, Tahmo terus mengajak petani Indonesia untuk bangkit, belajar, dan berinovasi.
“Kalau saya yang cuma petani dari Pangandaran bisa sampai di sini, berarti semua petani Indonesia pun bisa!” serunya penuh semangat.
Perjalanan Tahmo bukan cuma kisah sukses pribadi ini adalah tamparan lembut bagi siapa pun yang meremehkan petani.
Dari cangkul menuju podium, ia membuktikan bahwa cita-cita besar bisa tumbuh di ladang kecil asal disiram dengan tekad yang besar.
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait
