Guru MI Attarbiyah, Tati, menceritakan, gejala keracunan muncul tak lama setelah jam makan pagi. Menu MBG kala itu terdiri dari capcay, ayam kecap, tahu, jeruk, dan nasi. Delapan siswa Salsa (10), Putri (11), Pika (11), Yola (8), M. Riska (9), Hamed (11), Ika (8), dan Aleksa (11) mendadak mual, muntah, hingga dilarikan ke Puskesmas Cigugur.
Kepala Puskesmas Cigugur, Suharna, menegaskan saat ini kondisi siswa sudah membaik. “Tidak ada tambahan korban. Hanya satu anak yang masih dirawat karena punya riwayat sakit lambung. Lainnya sudah dipulangkan,” katanya.
Meski begitu, sorotan tajam dialamatkan pada SPPG. Dinas Kesehatan sudah membawa sampel makanan dan muntahan siswa ke laboratorium untuk uji kandungan bakteri. Hasilnya akan jadi bukti apakah makanan dari SPPG ini memang jadi biang kerok.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Pangandaran, Agus Nurdin, ikut angkat bicara. Ia menyesalkan minimnya koordinasi antara SPPG dengan pihaknya.
“Seharusnya ada komunikasi. Apalagi makanan mereka juga masuk ke sekolah-sekolah di bawah naungan Dinas Pendidikan,” tegas Agus.
Fakta bahwa belasan SPPG beroperasi tanpa sertifikat laik higienis membuat kasus ini makin panas. Bagaimana bisa ribuan porsi makanan anak sekolah dipasok pihak yang tak punya standar kesehatan resmi?
Program MBG yang digadang-gadang jadi simbol perhatian pemerintah kini justru jadi sorotan miring. Jika SPPG terus dibiarkan beroperasi tanpa sertifikat, bukan tak mungkin kasus keracunan massal akan kembali terulang.
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait