Nostalgia Layar Tancap di Lapangan Desa, Kini Cuma Tersisa di Ingatan Anak Pangandaran 80-an
Suasana di lapangan kala itu tak ada duanya. Tikar digelar, termos air panas dibuka, dan kopi tubruk pun mengepul di udara. Anak-anak berlarian, remaja duduk malu-malu di pinggir layar, sementara orang tua sibuk menjaga termos dan anak yang tertidur di pangkuan.
Tapi semua tahu risiko besar dari layar tancap di alam terbuka, gerimis! “Kalau udah gerimis, langsung heboh. Orang-orang pada teriak ‘Misbar! Misbar!’ Gerimis Bubar!” kata Esih (50), warga Cikembulan lainnya, sambil terkekeh.
Film pun terpaksa berhenti, warga bubar, dan layar kain dilipat tergesa. Tapi tak ada yang kecewa. Karena bagi mereka, film bisa diulang, tapi suasana seperti itu tak bisa terulang.
Lapangan-lapangan di Sidamulih, Parigi, Kalipucang, hingga Cimerak dulu pernah jadi saksi betapa sederhananya kebahagiaan orang kampung. Tak ada tiket, tak ada AC, tapi ada tawa tulus dan kebersamaan.
Sorotan proyektor menembus kabut malam, sementara jangkrik bersahutan dari pematang sawah. Kini, anak-anak zaman ponsel mungkin tak akan tahu betapa magisnya malam “misbar”.
Tak ada sinyal, tapi semua terkoneksi bukan lewat WiFi, tapi lewat canda dan cerita. Tak ada layar datar 4K, tapi gambar di kain putih itu mampu menyatukan hati satu kampung.
“Sekarang mah nontonna di HP, masing-masing. Dulu mah sederhana, tapi suasananya ngena. Bahagianya nyata,” ucap Eti lirih.
Layar tancap mungkin sudah lama gulung tikar, tapi kenangannya tetap menancap di hati anak-anak 80-an. Sebuah era ketika gerimis membuat bubar, tapi tawa membuat lupa segalanya.
Dan bagi warga Pangandaran, terutama mereka yang pernah duduk di lapangan beralas tikar, misbar bukan sekadar singkatan, tapi bagian dari hidup yang tak akan tergantikan.
Editor : Irfan Ramdiansyah