PANGANDARAN, iNewsPangandaran.id - Dulu, setiap hari pasar di Pangandaran selalu ada satu pemandangan sederhana tapi makna, ibu-ibu berkerudung lusuh, memanggul tampah berisi getuk lindri warna-warni, melangkah pelan menyusuri jalan pasar sambil menebar senyum.
Sekarang? Bayangan itu tinggal kenangan yang perlahan memudar seperti warna getuk yang luntur ditelan waktu. Kini memang masih ada segelintir pedagang yang menjualnya, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Suara mereka nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk pasar modern dan musik dari pengeras suara warung kopi.
Yang dirindukan anak-anak Pangandaran era 80-an bukan cuma rasa manis getuknya, tapi juga suasana pagi ketika para pedagang berjalan menuju pasar, membawa harapan dan kehangatan di atas tampah anyaman bambu.
“Dulu tiap hari pasar pasti ada yang jual getuk, jalannya sambil nyanyi. Sekarang udah gak ada,” tutur Indra (49), warga Desa Cikembulan yang matanya tampak basah mengenang masa lalu.
Ia mengaku rindu suasana pasar yang dulu ramai dengan suara pedagang yang saling sapa, bukan musik TikTok dari speaker warung sebelah.
Ironisnya, di tengah banyaknya program “pelestarian budaya”, justru jajanan seperti getuk ini yang paling dulu punah. Tak ada sentuhan nyata dari pemerintah untuk menjaga warisan kuliner rakyat kecil.
Bicara UMKM sih lantang, tapi yang dibina malah produk baru yang cuma numpang tren.
Getuk lindri kini tinggal cerita, mungkin sebentar lagi tinggal legenda. Padahal, di tiap serat singkong yang ditumbuk itu tersimpan nilai, kerja keras, kesabaran, dan cinta ibu-ibu kampung yang tak pernah viral.
Kalau dibiarkan terus begini, jangan salahkan waktu. Yang sebenarnya membunuh getuk lindri bukan modernitas tapi kita sendiri, yang sibuk mengejar “estetika digital” sambil lupa rasa asli dari tanah tempat kita berpijak.
Kini, harapan itu ada di tangan generasi muda Pangandaran. Bukan mustahil getuk lindri bisa hidup lagi dibungkus kreatif, dijual dengan gaya baru, tapi tetap setia pada rasa lamanya.
Karena menjaga getuk berarti menjaga jati diri. Sebab tanpa kenangan rasa, Pangandaran hanya akan jadi tempat wisata yang indah, tapi kehilangan jiwa.          
          
          
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait
