Skema kejahatan ini makin terkuak ketika ditemukan sebuah tiket wisata dengan nominal tertera sebesar Rp1 juta. Namun saat dilakukan scan, nilainya hanya terdeteksi Rp600 ribu.
“Dari sana kami mulai dalami. Ini bukan sekadar tiket salah cetak. Tapi ada indikasi pemalsuan sistematis,” ujar Riko.
Modusnya, sambung dia, cukup sederhana namun licik. Pelaku membeli tiket resmi, lalu memotret barcode yang tercetak, kemudian menduplikasinya menggunakan aplikasi dan mencetak ulang di kertas termal.
“Jadi template-nya mereka sudah punya. Tinggal edit, ganti nilai, cetak ulang,” ungkapnya.
Ironisnya, pengawasan di pintu masuk wisata kadang tidak maksimal. Meskipun sistem sudah mengandalkan scan barcode, petugas di lapangan masih banyak yang lengah.
“Sudah kami instruksikan agar setiap tiket di-scan. Tapi kadang-kadang ada yang cuek, sehingga tiket palsu bisa lolos,” katanya prihatin.
Kasus ini mencuat bersamaan dengan ditangkap tangannya seorang penarik retribusi berinisial UN, yang diduga menyalahgunakan tiket resmi untuk dijual kembali secara ilegal.
“UN ini awalnya minta tiket ke petugas jaga di pintu timur. Tapi tiket itu malah dia bawa kabur dan disinyalir dijual lagi. Untung cepat diketahui,” jelas Riko.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi soal penanganan kasus tersebut. Belum diketahui apakah UN akan dijerat pidana, atau hanya diberi sanksi administratif.
Sementara itu, masyarakat dan pelaku wisata di Pangandaran mulai cemas. Jika praktik ini tak segera dihentikan, bukan tidak mungkin kerugian miliaran rupiah akan terus mengalir tanpa jejak.
Pihak Disparbud kini tengah menyusun langkah preventif agar peredaran tiket palsu ini bisa dihentikan. Salah satunya dengan memperbarui sistem tiketing dan memperketat SOP di lapangan.
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait