Menurutnya, reaktivasi ini tidak hanya penting untuk mobilitas warga, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi daerah, terutama sektor pariwisata di Pangandaran yang dikenal memiliki panorama menakjubkan.
Tim gabungan dari Kemenko Marves, Kementerian Perhubungan, PT KAI, dan Bappeda Pangandaran sempat meninjau kondisi rel lama, terowongan, dan jembatan bersejarah pada September 2024. Namun, tindak lanjut dari kunjungan tersebut masih belum menunjukkan kemajuan berarti.
"Kami akan membagi tugas berdasarkan hasil survei itu. Tapi semuanya masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian," ujar Asep Suhendar, Sekretaris Bappeda Pangandaran.
Salah satu tantangan besar adalah keberadaan bangunan warga yang berdiri di atas jalur rel lama. Meski mayoritas warga telah memiliki kontrak kerja sama dengan PT KAI, pendekatan sosial tetap dibutuhkan.
"Pemerintah daerah akan turun tangan dalam sosialisasi. Meski sudah ada kontrak, kami tetap harus memberikan pemahaman ke warga agar reaktivasi ini berjalan lancar,"tambah Asep.
Menariknya, proyek ini sebenarnya sudah tercantum dalam Perpres Nomor 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Jabar Selatan. Artinya, secara hukum, reaktivasi jalur KA Banjar–Pangandaran memiliki dasar yang kuat untuk direalisasikan hingga 2030.
Namun, sejauh ini masyarakat masih menunggu langkah konkret. Untuk sementara, pemerintah baru menyarankan penggunaan transportasi shuttle seperti DAMRI untuk menghubungkan Banjar–Pangandaran.
Proyek ini sudah masuk dalam rencana besar pembangunan kawasan Jabar Selatan. Pertanyaannya, kapan warga bisa kembali melihat kereta melintasi jalur eksotis Banjar–Pangandaran?
Editor : Irfan Ramdiansyah