Wayang Redup, Dapur Filet Menyala: Kisah Abah Rangga Batuhiu Bertahan di Pesisir
Peralihan itu bukan perkara mudah. Dari dalang yang terbiasa menghidupkan tokoh wayang, kini ia harus berhadapan dengan angka, stok, permintaan pasar, dan risiko kerugian. Namun satu hal tak berubah, ketekunan dan kedisiplinan.
Di bawah bendera Mutiara Lautan Sejahtera, Abah Rangga mulai membangun usaha filet dari nol. Ikan tongkol ziti dan cabuk diolah dengan teliti, dibersihkan, dibuang durinya, lalu dikemas rapi. Prinsipnya sederhana: apa pun profesinya, kualitas tetap harus dijaga.
Meski kini berkutat di dapur produksi, darah seni tak sepenuhnya hilang. Cara ia membangun hubungan dengan nelayan, karyawan, hingga mitra usaha masih sarat pendekatan sosial dan nilai kebersamaan warisan panjang dari dunia budaya yang pernah ia jalani.
Usaha filet ini akhirnya tumbuh. Produksi mencapai hitungan ton setiap bulan, pasar meluas ke berbagai daerah, dan lapangan kerja tercipta bagi warga sekitar. Namun bagi Abah Rangga, ini bukan sekadar soal bisnis.
Ini adalah cara bertahan hidup tanpa melepaskan jati diri.
Dari panggung wayang golek ke dapur filet ikan, perjalanan Abah Rangga menjadi cermin bagaimana pelaku budaya dipaksa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Wayang mungkin tak lagi selalu dimainkan, tetapi nilai ketekunan dan ketahanan hidup tetap ia pegang, dalam bentuk yang berbeda.
Editor : Irfan Ramdiansyah