“Masalah ini sudah kami laporkan ke Pemda. Kami juga memohon kepada Bupati Pangandaran agar segera ambil tindakan nyata, jangan hanya janji.”
Tak sekadar emosi sesaat, kemarahan warga Maruyungsari berakar dari penderitaan panjang. Setiap hujan deras turun, lahan pertanian berubah menjadi kubangan luas. Air kiriman yang deras, ditambah tidak adanya saluran pembuangan air yang layak, membuat banjir tak kunjung surut.
“Ini bukan cuma rugi uang, ini soal nyawa kami sebagai petani. Gagal panen, anak tak bisa sekolah, utang menumpuk!” ungkap Sarman, petani lain yang ikut aksi.
Muji Hartono, yang menjadi semacam juru bicara para petani, memberi ultimatum keras: jika sampai Minggu (25/5) tak ada tindakan nyata dari Pemda, maka petani akan bergerak sendiri. “Kami siap bongkar jalan itu! Ini bukan main-main. Kami sudah terlalu sabar,” ancamnya.
Plt Camat Solihin tak tinggal diam. Ia meminta Pemkab Pangandaran bertindak cepat dan mengundang tokoh masyarakat serta dua kepala desa untuk duduk satu meja.
“Jangan tunggu situasi makin parah. Kita ingin solusi, bukan janji-janji basi!” ucapnya tajam.
Kemarahan petani Maruyungsari bukan hanya karena lahan rusak, tapi juga karena merasa dilupakan. Dua tahun tanpa solusi, tanpa tindakan konkret, membuat luka sosial yang makin menganga. Mereka merasa pemerintah lebih sibuk dengan proyek besar dan pencitraan, sementara para petani hanya dijadikan statistik di lembar laporan.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah. Jika dalam tiga hari ke depan tak ada langkah nyata, bukan tak mungkin amarah petani akan berubah jadi aksi besar-besaran.
Editor : Irfan Ramdiansyah