Menurut Samuel Krisna, mahasiswa semester 6 Fakultas Filsafat Unpar mengungkapkan, ia mengaku kagum karena permainan tradisional seperti ini masih dilestarikan, karena mengajarkan anak-anak tentang kebersamaan, lebih mengenal satu dengan yang lain dan tidak terjebak pada permainan di gawai.
Dalam konteks masyarakat plural, permainan tradisional ini bisa mempersatukan, membuat anak-anak tertawa bersama tanpa melihat suku, agama, dan ras.
Willfridus Demetrius Siga, salah satu dosen PPPM (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat) mengatakan, hal ini baik untuk para mahasiswa karena memberikan wawasan bahwa dialog antar agama itu tidak selalu berupa diskursus atau dialog lisan, namun juga diwujudkan dalam kolaborasi seni budaya.
“Berharap para mahasiswa bisa belajar tentang dinamika pluralisme agama yang konkret, yang memiliki berbagai bentuk. Seni budaya ternyata dapat mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama.” Ungkapnya saat mendampingi para mahasiswa dalam kunjungan ini.
Sementara itu Diskusi filsafat pada siang hari ini dipenuhi dengan kajian budaya, seni, kolaborasi antar umat beragama dan persaudaraan umat manusia atas apa yang dirasakan secara nyata di Ciamis.
Editor : Irfan Ramdiansyah
Artikel Terkait