Sisa Cahaya di Ujung Waktu: Kisah Pilu Rusli yang Berjuang Sendiri Melawan Kebutaan
PANGANDARAN, iNewsPangandaran.id - Di tengah gemuruh dunia yang serba gemerlap, ada seorang pria di pelosok Pangandaran yang bertarung sendirian melawan gelap. Rusli (52), warga miskin asal Dusun Kamplung, Desa Karangbenda, Kecamatan Parigi, kini menatap masa depan hanya dengan harapan yang nyaris padam.
Bukan karena ia sudah menyerah, tetapi karena kedua matanya hampir tak lagi mampu melihat cahaya kehidupan.
Setelah mata kirinya lebih dulu gelap total, kini mata kanan Rusli mulai ikut meredup, dan dalam hitungan hari ia terancam buta total selamanya. Satu-satunya harapan untuk menyelamatkan penglihatannya adalah menjalani perawatan di Rumah Sakit Cicendo Bandung, namun kemiskinan menghentikan langkahnya bahkan sebelum ia sempat berangkat.
Hari-hari Rusli ia lewati di gubuk reyot berdinding bilik bambu, tanpa kamar mandi, tanpa WC, tanpa fasilitas layak manusia. Gubuk kecil berukuran tak lebih dari 3x4 meter itu menjadi tempat ia menahan tangis, menunggu mukjizat, menanti uluran tangan.
Ketika ditemui wartawan, Rusli tidak mampu menahan getaran suaranya. Dengan tangan meraba dinding bambu agar dapat duduk, ia berbicara sambil menunduk.
“Awalnya cuma mata kiri yang tidak bisa melihat… tapi seminggu ini mata kanan ikut gelap. Kata dokter harus cepat ditangani, saya dirujuk ke Cicendo,” ucapnya terbata, Sabtu (22/11/2025).
Rusli memiliki kartu BPJS, namun itu tak cukup. BPJS hanya menanggung biaya tindakan medis, bukan biaya transportasi, bukan makan, bukan tempat tinggal selama di Bandung.
“Untuk ongkos berangkat saja saya tidak punya… mau bagaimana? Saya sudah tidak bisa bekerja. Saya ingin sembuh, saya ingin melihat lagi… tapi saya tidak punya uang,” lirihnya, menyeka ujung mata yang nyaris tak mampu membuka.
Rusli mengaku mendapat dua pilihan rujukan, ke Yogyakarta atau Bandung. Bandung ia pilih karena lebih dekat, meski untuk sekadar membeli tiket bus pun ia tak kuasa.
“Saya berharap ada orang baik yang mau bantu saya… saya hanya ingin bisa melihat lagi sebelum semuanya terlambat,” bisiknya, suaranya pecah, memandikan wajahnya dengan air mata.
Kini Rusli hanya memiliki harapan sebagai pegangan terakhir. Setiap hari ia menunggu keajaiban, menunggu seseorang mengetuk pintu gubuknya, menolongnya keluar dari gelap yang menelan hidupnya.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota dan orang-orang yang sibuk mengejar mimpi, seorang lelaki sederhana sedang berjuang mempertahankan cahaya terakhir dalam hidupnya.
Rusli tidak meminta kekayaan, tidak meminta kemewahan, ia hanya ingin kembali melihat dunia, wajah anaknya, dan sinar matahari yang dulu begitu ia syukuri.
Jika hari ini kita masih bisa melihat langit biru, membaca doa, atau menatap wajah orang yang kita cintai, maka kita jauh lebih beruntung dari Rusli. Sebelum gelap menelan seluruh harapan, mari ulurkan tangan.
Bukan untuk sekadar membantu ongkos, tetapi untuk menyelamatkan sebuah kehidupan, sebuah harapan, dan sepasang mata yang sedang sekarat oleh waktu.
Semoga Allah membalas setiap kebaikan para dermawan dengan rezeki yang berlipat. Karena bagi Rusli, setetes bantuan adalah cahaya, dan cahaya adalah satu-satunya keajaiban yang sedang ia tunggu.
Editor : Irfan Ramdiansyah