Tragis di Gua Lalay! Raup Ditemukan Tak Bernyawa Usai Hilang Misterius Saat Menjaring Kelelawar
PANGANDARAN, iNewsPangandaran.id - Akhir pencarian penuh harap di Gua Lalay, Desa Cintaratu, Kecamatan Parigi, berujung duka mendalam. Memed Hermawan alias Raup (44), warga Desa Karangkamiri, Kecamatan Langkaplancar, akhirnya ditemukan tewas mengenaskan di kedalaman gua, Jumat (7/11/2025).
Dua hari lamanya warga dan petugas berjibaku siang-malam, menembus hutan, bebatuan tajam, dan arus bawah tanah demi menemukan pria yang sempat hilang misterius saat menjaring kelelawar itu.
“Korban ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di lokasi cukup dalam dan sulit dijangkau,” ujar Edwin, Kepala Pos Basarnas Pangandaran, dengan wajah muram di lokasi kejadian.
Pencarian dimulai sejak Rabu malam. Tim gabungan dari Polres Pangandaran, Polsek Parigi, Basarnas, TNI, hingga pegiat gua dari Tasikmalaya turun tangan. Mereka menembus hutan sejauh dua kilometer dari permukiman menuju mulut Gua Lalay yang terkenal licin dan berbahaya.
Di dalam gua, kondisinya jauh dari kata manusiawi, sempit, gelap total, udara pengap, dan air bawah tanah mengalir deras. Kehadiran tim Tasik Caving Community (TCC) dan Caves Society menjadi penentu. Dengan peralatan lengkap, tali tambang, karabiner, dan lampu kepala. Mereka menuruni lubang vertikal yang gelap gulita demi mencari jejak korban.
“Medan di dalam gua ini sangat berbahaya. Tanpa keahlian caver profesional, evakuasi mustahil dilakukan,” kata Edwin.
Sebelum hilang, Raup sempat berpamitan kepada rekan-rekannya untuk menjaring kelelawar, seperti kebiasaannya. Namun hingga malam tiba, ia tak kunjung kembali. Yang ditemukan justru tas, jaring, dan sandal miliknya tergeletak di sekitar mulut gua.
Merasa curiga, warga melapor ke pemerintah desa, yang kemudian diteruskan ke Polsek Parigi dan Basarnas. Tim langsung bergerak cepat.
Setelah dua hari penyisiran, Jumat pagi sekitar pukul 08.30 WIB, tim TCC menemukan tanda-tanda keberadaan korban. Beberapa jam kemudian, tubuh Raup ditemukan tersangkut di celah batu pada kedalaman sekitar 20 meter.
Evakuasi berjalan dramatis. Petugas dan pegiat gua turun satu per satu dengan tali pengaman ke lokasi jasad. Udara tipis, arus deras, dan ruang sempit membuat proses berjalan penuh risiko.
“Butuh waktu hampir dua jam untuk mengangkat tubuh korban ke permukaan,” tutur salah satu anggota Caves Society dengan napas berat.
Saat kantong jenazah hitam akhirnya muncul dari kegelapan gua, suasana mendadak pecah haru. Tangis keluarga meledak. Beberapa warga bahkan histeris saat memastikan bahwa tubuh yang terbujur kaku itu adalah Raup, sosok yang dua hari terakhir mereka cari tanpa henti.
Jenazah langsung dibawa ke posko darurat untuk pemeriksaan lebih lanjut sebelum diserahkan ke pihak keluarga.
“Kami nyatakan operasi selesai. Semua unsur sudah bekerja maksimal. Kami turut berduka sedalam-dalamnya,” tegas Edwin, Kapos Basarnas Pangandaran.
Koordinator Lapangan SAR Arga Ardiansyah dari TCC & Caves Society mengungkapkan bahwa operasi resmi dimulai pukul 08.00 WIB dan korban baru ditemukan pukul 11.25 WIB di lubang entrance Santirah, terjepit di antara batu besar.
“Jaraknya sekitar 260 meter dari mulut gua, tepatnya di entrance Jojogoan,” ungkap Arga.
Medan yang ditembus sangat ekstrem, air sedalam 20 meter, jalur vertikal licin, serta udara yang panas dan penuh guano (kotoran kelelawar).
“Evakuasi lewat jalur awal tak memungkinkan. Kami putuskan keluar lewat Jojogan agar lebih cepat,” ujarnya.
Lebih lanjut Arga menjelaskan, korban diduga terpeleset dari tebing dekat entrance Santirah dan tubuhnya terbentur batu sebelum jatuh ke arus sungai bawah tanah.
“Diduga ada benturan keras di kepala, hingga menyebabkan tengkorak korban pecah,” bebernya dengan nada serius. Bagi warga sekitar, tragedi ini menjadi peringatan keras.
Gua Lalay memang menyimpan pesona alam bawah tanah yang menakjubkan, tapi juga menyimpan bahaya mematikan dari derasnya arus air bawah tanah yang sulit diprediksi.
Sore itu, langit Parigi tampak muram. Di balik keheningan gua yang kini sunyi, kisah pilu Raup menjadi pengingat bahwa petualangan di alam liar tak selalu berakhir indah.
Editor : Irfan Ramdiansyah