get app
inews
Aa Text
Read Next : Megah Tapi Mati, TIC Pangandaran Hanya Dibuka Saat Ada Rapat

Senja Tanpa Sayap Kalong, Anak 80-an Pangandaran Rindu Langit yang Dulu!

Selasa, 28 Oktober 2025 | 13:31 WIB
header img
Senja Tanpa Sayap Kalong, Anak 80-an Pangandaran Rindu Langit yang Dulu! ( Foto: ilustrasi)

PANGANDARAN, iNewsPangandaran.id - Langit Pangandaran sore itu terlihat tenang. Matahari perlahan merunduk ke ufuk barat, menyisakan cahaya jingga yang memantul di permukaan laut. Indah, memang. Tapi ada yang hilang. Tak ada lagi kepakan sayap yang dulu menandai pergantian waktu antara sore dan malam. Tak ada lagi bayangan hitam kalong yang berbaris di langit.

Dulu, di era tahun 1970 hingga 1980-an, masyarakat Pangandaran punya kebiasaan yang hampir menjadi tradisi tak tertulis, menengadah ke langit setiap menjelang magrib, menanti rombongan kalong atau kelelawar yang terbang dari arah Cagar Alam Pangandaran menuju barat.

Anak-anak yang sedang bermain layangan di pinggir sawah akan berlari ke tepi jalan. Para ibu yang menjemur ikan asin di depan rumah buru-buru menutup wadahnya agar tak disambar kelelawar.

Sementara para bapak, sambil menyeruput kopi di beranda, mengangguk pelan melihat barisan hewan malam itu melintas bagai awan bergerak.

“Waktu kecil mah, tiap sore pasti ada kalong lewat. Jumlahnya bisa ribuan. Langit jadi hitam, tapi bukan karena hujan. Karena kalong!” kenang Jajang, warga Desa Cikembulan, sambil tersenyum getir. “Sekarang mah sepi. Kalongnya entah ke mana.”

Bagi mereka yang tumbuh besar di Pangandaran era itu, kalong bukan sekadar hewan malam. Ia bagian dari kenangan kolektif, simbol kehidupan alam yang masih utuh. Suaranya yang lirih di kejauhan menandai waktu pulang, sementara kepakan sayapnya menjadi latar harmoni antara manusia dan alam.

“Saya masih ingat, dulu kalau kalong mulai keluar, kami disuruh ibu masuk rumah. Katanya, kalau malam nanti bisa diseruduk kalong,” ujar Amin, warga Dusun Karanggedang Babakan.

“Tapi kami malah senang lihatnya. Cantik sekali kalau mereka lewat di langit senja.”

Kini, cerita itu hanya hidup di kepala mereka yang pernah menyaksikan. Generasi muda Pangandaran banyak yang bahkan tak tahu seperti apa bentuk kelelawar besar itu. Kalong kini hanya jadi kata asing dalam obrolan nostalgia.

Kehilangan kalong bukan hal kecil. Ia menandakan perubahan besar pada wajah alam Pangandaran. Dahulu, Cagar Alam menjadi rumah bagi ribuan kelelawar besar yang bergelantungan di pepohonan tinggi.

Namun kini, sebagian habitat mereka mulai menyempit. Cahaya lampu-lampu terang di malam hari membuat kelelawar kehilangan arah dan sumber makanan alami.

“Dulu waktu saya main di kawasan cagar alam, kelelawar itu keluar sore, pulang subuh. Sekarang, jangankan rombongan besar, satu-dua aja susah kelihatan,” tutur Amin.

Ia menghela napas panjang. “Kalong itu penjaga ekosistem. Mereka nyebarin biji pohon, bantu serangga seimbang. Kalau mereka hilang, alam juga ikut pincang.”

Sore hari di Pangandaran kini terasa sunyi. Laut masih bergemuruh, tapi langitnya kosong. Anak-anak kecil lebih sibuk menatap layar ponsel ketimbang menatap langit. Tak ada lagi suara teriakan riang, tak ada lagi tangan kecil yang menunjuk ke atas sambil berteriak, “Tuh, kalong!”

Bagi generasi tua, setiap senja kini adalah perjumpaan dengan kenangan. “Kalau sore, saya sering duduk di depan rumah, lihat langit barat. Kadang saya harap mereka muncul lagi, walau cuma satu-dua ekor,” ucap Asep lirih.

“Tapi sampai sekarang belum pernah lagi kelihatan.”

Bagi sebagian warga Pangandaran, hilangnya kalong menjadi simbol bahwa alam sedang kehilangan nyawanya sedikit demi sedikit. Pantai masih indah, wisata masih ramai, tapi sesuatu yang halus yang dulu membuat Pangandaran hidup dan bernyawa kini tak ada lagi.

“Dulu waktu senja, kita tahu waktu malam sudah dekat karena kalong. Sekarang? Kita tahu malam karena lampu-lampu kafe mulai nyala,” kata Nana (47), pedagang di kawasan Bulak Laut.

Cagar Alam yang dulu sunyi dan magis kini menjadi objek wisata yang ramai, namun tak lagi menjadi rumah nyaman bagi makhluk malam itu. Populasi kalong di Pangandaran kian menurun.

Kepala BKSDA Cagar Alam Pangandaran, Kusnadi, menyebut salah satu penyebabnya adalah perburuan liar yang masih terjadi di luar kawasan konservasi.

Meski pihaknya rutin melakukan patroli sore hingga malam hari, terutama di sekitar Kalapa Hendep hingga Pantai Barat, aktivitas penangkapan kalong menggunakan layangan dan elang tiruan masih kerap ditemukan.

Tim BKSDA bahkan beberapa kali memburu pelaku di area Bumi Nusantara hingga Pondok Seni, tempat kalong sering keluar mencari makan. Dari hasil pemeriksaan, kalong hasil tangkapan diduga dijual-belikan kepada pemesan tertentu, bukan sekadar untuk konsumsi.

Kusnadi menegaskan, pihaknya terus berupaya menjaga populasi kalong yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan dan identitas alam Pangandaran.

“Kami ingin kalong tetap ada di langit Pangandaran seperti dulu, karena mereka bagian dari kehidupan hutan yang harus dijaga,” ujarnya.

Sementara, para pemerhati lingkungan memperkirakan beberapa faktor penyebab hilangnya populasi kalong di Pangandaran:

1. Berkurangnya pepohonan tinggi yang menjadi tempat beristirahat kelelawar. 2. Polusi cahaya malam yang mengganggu orientasi terbang mereka. 3. Menurunnya jumlah pohon buah dan bunga yang menjadi sumber makanan. 4. Perburuan dan gangguan manusia di sekitar kawasan cagar alam.

Padahal, kelelawar memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, termasuk membantu penyerbukan bunga dan penyebaran biji tanaman. Hilangnya mereka berarti juga berkurangnya keseimbangan alami di kawasan pesisir selatan ini.

Menjelang malam, suara adzan magrib menggema dari kejauhan. Di langit, hanya tersisa beberapa burung camar yang kembali ke sarang. Tak ada kalong yang melintas, tak ada gerombolan sayap hitam yang dulu memenuhi udara.

Senja di Pangandaran kini sunyi, bukan karena keindahannya hilang, tapi karena kenangan yang dulu membuatnya hidup kini tak lagi hadir.

“Anak saya sering tanya, ‘Pak, kalong itu seperti apa?’ Saya cuma bisa jawab, ‘Kalau kamu lahir 40 tahun lebih cepat, kamu pasti pernah lihat langit Pangandaran penuh sayap hitam yang indah,’” ujar Asep dengan mata menerawang.

Di antara desir angin laut dan bayangan pohon kelapa, Pangandaran seperti menyimpan rahasia waktu. Tentang kalong yang pernah jadi bagian dari kehidupan, lalu pergi tanpa pamit. Tentang langit yang pernah ramai, kini sepi.

Dan tentang rindu yang menggantung di udara setiap kali senja datang, menanti sayap-sayap malam yang tak kunjung kembali.

Editor : Irfan Ramdiansyah

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut