Lebih dari Separuh Pekerja di Ambang Gila: Dunia Kerja Modern Jadi Mesin Pembakar Mental

JAKARTA, iNewsPangandaran.id - Di balik senyum rapat Zoom dan kemeja rapi setiap pagi, banyak pekerja ternyata tengah menanggung luka yang tak terlihat. Burnout, stres kronis, hingga rasa hampa akibat tekanan kerja kini jadi wajah gelap dunia kerja modern.
Dan faktanya, lebih dari 52% pekerja di dunia termasuk Indonesia mengaku mengalami kelelahan kerja kronis alias chronic burnout. Data itu bukan sekadar angka. Ia adalah alarm keras di tengah rutinitas yang mematikan semangat.
Menurut laporan “SHRM 2025 Insights: Workplace Mental Health”, empat dari sepuluh karyawan menyebut pekerjaan mereka justru memperburuk kesehatan mental. Generasi muda, terutama Gen Z, jadi kelompok paling rentan: 91% menghadapi tantangan mental serius, bahkan 35% di antaranya sudah terdiagnosis depresi.
Meski begitu, sekitar 60% pekerja masih bilang puas dengan pekerjaannya. Tapi ironisnya, mereka tetap mencari peluang keluar. Fenomena ini dikenal sebagai “puas tapi ingin kabur”, tanda tekanan batin yang menumpuk dan bisa meledak kapan saja.
Tak hanya di luar negeri, persoalan serupa juga mengintai para pekerja Indonesia. Berdasarkan Survey Workplace Wellbeing Score Indonesia 2025, tingkat kesejahteraan mental karyawan di Tanah Air baru menyentuh 50,98%, jauh di bawah rata-rata global 58,62%.
Akibatnya, banyak pekerja yang hadir di kantor hanya secara fisik, tapi batinnya sudah habis terkuras. Mereka bekerja tanpa semangat, tanpa arah, tanpa makna. Dan ini bukan sekadar drama hitungan ekonominya mencengangkan: kerugian akibat stres kerja bisa mencapai USD 300-900 per karyawan per bulan!
Menurut Kartika Amelia, pakar HR dari Human Care Consulting (HCC), banyak perusahaan baru sadar ketika semuanya sudah terlambat.
“Penurunan performa sering kali bukan karena kemampuan yang menurun, tapi karena beban mental yang tak terkelola,” tegasnya.
Ia menyebut fenomena burnout sebagai “bom waktu yang diam-diam menggerogoti produktivitas perusahaan.”
Tanpa deteksi dini, perusahaan bisa merugi puluhan juta rupiah per karyawan tiap bulan. Untuk mencegah bom waktu itu meledak, Kartika mendorong perusahaan menerapkan Psychological Check-Up (PCU) sebuah skrining sederhana tapi menyeluruh, mirip medical check-up, namun fokus pada kesehatan mental.
“Lewat PCU, perusahaan bisa tahu kondisi psikologis karyawan secara jujur dan ilmiah,” jelasnya.
“Dari hasil PCU, kita bisa menentukan langkah tepat mulai dari sesi konseling profesional, pelatihan ketahanan mental, sampai program kesejahteraan karyawan berbasis data.”
Dan hasilnya bukan omong kosong. Berdasarkan laporan Workplace Wellbeing Initiative Trends 2025, pendekatan berbasis data seperti PCU terbukti meningkatkan produktivitas hingga 20% dan menurunkan angka absensi serta turnover hingga 30%.
Lebih dari sekadar deteksi dini, PCU juga membuka jalan menuju budaya kerja baru tempat di mana setiap orang bisa bicara tanpa takut dihakimi.
“Kesehatan mental harus jadi prioritas strategis,” tandas Kartika.
“Kalau fisik pekerja dijaga dengan medical check-up, maka mental pun harus dirawat lewat psychological check-up. Tempat kerja ideal bukan cuma soal hasil, tapi juga tempat di mana manusia di dalamnya merasa aman dan dihargai.”
Human Care Consulting (HCC) adalah penyedia layanan psikotes online dan pengembangan SDM yang telah dipercaya ratusan institusi di Indonesia. Dengan pendekatan berbasis data, teknologi, dan jaringan psikolog profesional, HCC membantu perusahaan menemukan, mengembangkan, serta mempertahankan talenta terbaik.
Perusahaan yang ingin melakukan skrining mental berbasis data atau konseling profesional dapat menghubungi: [[email protected]] (7mailto:[email protected]) +62 811-1720-171 [www.humancareconsulting.com](https://www.humancareconsulting.com)
Editor : Irfan Ramdiansyah