Dilema PMI Pangandaran: Stok Berlebih, Dana Seret dan Soal Transparansi

PANGANDARAN, iNewsPangandaran.id - Darah, yang seharusnya jadi simbol kemanusiaan, kini justru memantik tanda tanya besar di Kabupaten Pangandaran. Palang Merah Indonesia (PMI) setempat terang-terangan mengakui bahwa di balik setiap kantong darah yang terkumpul, ada hitungan rupiah yang ikut berputar.
Alih-alih hanya bicara soal nyawa yang terselamatkan, urusan stok darah ternyata juga terkait dengan biaya operasional organisasi.
Ketua PMI Pangandaran, Dadang Gunawan, mengakui bahwa stok darah yang menumpuk bisa jadi masalah besar jika tak segera disalurkan. Bukan hanya soal nyawa yang bisa terselamatkan, tapi juga soal darah yang bisa kadaluarsa dan akhirnya mubazir.
“Selain terhindar dari kadaluarsa, kan lumayan bisa nambah-nambah untuk biaya operasional dari penjualan darah,” ucap Dadang blak-blakan, Senin (29/9/2025).
Harga darah pun dipatok jelas. Setiap satu labu dibanderol Rp 390.000. Angka ini bukan main-main, mengingat stok darah di PMI Pangandaran bisa tembus 400 labu per bulan, hasil dari kegiatan donor sukarela, jemput bola, hingga acara bakti sosial.
Jika dihitung, potensi uang yang berputar bisa mencapai ratusan juta setiap bulannya. Namun, ironinya, kebutuhan darah di RSUD Pandega satu-satunya rumah sakit rujukan besar di Pangandaran justru minim.
Rata-rata hanya 140 labu per bulan. Sisanya? Menumpuk di gudang penyimpanan PMI, menunggu untuk segera dilepas agar tak jadi bangkai darah kadaluarsa.
Di tengah fakta tersebut, publik pun mempertanyakan, apakah darah yang disumbangkan masyarakat dengan ikhlas, kini benar-benar sudah berubah wajah jadi ladang rupiah?
Dadang tak menampik jika pemasukan dari darah sangat krusial untuk kelangsungan organisasi. Pasalnya, biaya operasional Unit Transfusi Darah (UTD) tak bisa ditutup hanya dari jumlah permintaan lokal.
Belum lagi, ada pula sumber dana lain lewat "bulan dana PMI" yang ditarik dari desa-desa dan instansi pemerintah. Uang itu, kata Dadang, digunakan untuk belanja berbagai kebutuhan internal, mulai dari seragam, kursi roda, tas, hingga perlengkapan kegiatan donor darah.
Keterangan ini sontak memicu tanda tanya besar. Apakah semangat kemanusiaan benar-benar masih jadi nafas utama PMI, atau jangan-jangan darah kini sudah masuk daftar komoditas yang diperjualbelikan layaknya barang dagangan?
Di balik pernyataan terbuka itu, publik jelas berhak waspada dan kritis. Sebab, ketika darah simbol kemanusiaan yang kerap disebut "setetes darah menyelamatkan nyawa" sudah ditakar dengan rupiah, maka ada jurang tipis antara niat sosial dengan bisnis yang menggiurkan.
Yang jelas, drama darah ini masih akan terus jadi sorotan. Warga pun berharap transparansi dan pengelolaan PMI di Pangandaran benar-benar kembali ke jalur utama, menolong sesama, bukan sekadar menghitung laba dari tiap tetes darah.
Editor : Irfan Ramdiansyah